Senin, 23 Mei 2011

Korupsi Parpol yang Menegara

Presiden menerbitkan Inpres No. 9 Tahun 2011 tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi yang berisi enam langkah strategi pemberantasan korupsi yang harus dijalankan aparatur negara terkait: pencegahan, penindakan, harmonisasi peraturan dan perundang-undangan, penyelamatan aset, kerja sama internasional, dan mekanisme pelaporan yang tertuang dalam 102 rencana aksi prevensi korupsi (13/5/2011).
Sebagaimana kita ketahui Inpres ini dikeluarkan di tengah sorotan tajam terhadap kasus dugaan suap Wisma Atlet SEA Games 2011 di Palembang senilai Rp. 191 miliar yang melibatkan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga. Bahkan Bendahara Umum dan salah seorang Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat (PD) pun disebut-sebut terlibat.
Oase
Di tengah gaduhnya pembelaan diri mereka yang terlibat, Presiden secara meyakinkan mendukung dan menyerukan agar KPK tidak tebang pilih dalam menuntaskan kasus suap tersebut. "Hantam saja semua, tidak peduli jika ia berasal dari Partai Demokrat", tegas Presiden seperti dikutip Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto di tengah persiapan Konferensi Internasional Anti Suap dalam Transaksi Bisnis Internasional di Bali (9/5). Sikap Presiden ini merupakan oase bagi rakyat maupun KPK - di tengah berbagai upaya sistematis melemahkannya- untuk bekerja maksimal meskipun harus bersentuhan dengan orang-orang lingkar partai dan kekuasaan.
Sayangnya itikad Presiden tersebut justeru dihadang oleh "bumper" PD sendiri yang menolak rencana Badan Kehormatan (BK) DPR memeriksa Angelina Sondakh (anggota komisi X dari PD) dan Muhammad Nazaruddin (Bendahara Umum PD) seputar keterlibatan mereka dalam kasus suap Wisma Atlet tersebut. Bahkan Ruhut Sitompul, Juru Bicara Demokrat, di Gedung DPR (13/5) menyebut BK DPR sebagai pahlawan kesiangan.
Ini sangat disayangkan karena mencerminkan sebuah perlawanan balik PD terhadap komitmen pemberantasan korupsi dari Istana. Di satu sisi, sikap Ruhut tersebut semakin mempertebal citra buruk DPR yang selama ini telanjur dipenuhi pola laku institusional yang tak patut. Pada sisi lain ini bisa merugikan kredibilitas PD -sebagai partai penguasa- di hadapan publik karena terkesan bersikap defensif terhadap upaya pengungkapan transaksi success fee tersebut.
Maka seperti dugaan semula, episode pengungkapan skandal suap ini akan melewati jalan terjal. Energi besar KPK akan berhadapan dengan sikap saling melindungi para elit terutama di kalangan parpol yang tidak pernah steril dari pola kepentingan who gets what when and how (siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana).
Penulis teringat kata Kidd dan Richter (2003) dalam bukunya Corruption and Governance in Asia bahwa pemberantasan korupsi yang mengandalkan institusi negara sering menjadi tidak independen karena selalu diintervensi jika itu mengganggu kepentingan kekuasaan. Kasus Bank Century menjadi contoh paling terang betapa hiruk pikuknya berbagai kepentingan dalam mengganggu jalannya proses hukum terhadap kasus tersebut.
Namun kita tetap berharap penuh agar Presiden SBY tidak akan menggeser posisinya untuk tetap di garis terdepan pemberantasan korupsi dengan memberi kewenangan dan kepercayaan penuh bagi KPK sebagai institusi independen dalam menjalankan eliminasi korupsi –terutama- di tubuh kekuasaan tanpa pandang bulu.
Ada tiga argumentasi, kenapa kasus suap Wisma Atlet ini perlu dituntaskan, paling tidak membuktikan bahwa berbagai tumpukan instrumen hukum pemberantasan korupsi yang telah dihasilkan selama ini bukanlah sebatas macan kertas.
Pertama, Indonesia telanjur diapresiasi sebagai negara yang sukses menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Pemerintahan yang bersih dari korupsi merupakan benteng besar bagi demokrasi (a great bastion of democracy) dalam membangun fungsi negara yang bermoral dan bermartabat. Negara yang menoleransi korupsi hanya akan membuat legitimasi kepemimpinannya melemah karena fungsi pelayanan publik tidak berjalan semestinya.
Rose Ackermen (1999) mengatakan korupsi dapat mengakibatkan kemiskinan sebuah negara karena memengaruhi kebijakan publik. Rakyat hanya menerima pelayanan sosial yang minim, investasi dan prasarana mengabaikan proyek pemberantasan kemiskinan dan maraknya biaya ekonomi tinggi. Karena itu perlawanan terhadap korupsi merupakan bentuk penguatan legitimasi demokrasi sebuah negara.
Kedua, ini merupakan ujian komitmen Presiden menuntaskan kasus korupsi di periode akhir pemerintahannya. Apalagi kasus suap Wisma Atlet ini menyeret pengurus PD, partai penguasa. Presiden layak menjamin bahwa pedang hukum bisa menebas pada siapa pun yang terbukti secara hukum memanfaatkan dana negara untuk kepentingan diri/kelompok.
Ketiga, dengan penuntasan kasus suap tersebut maupun kasus korupsi lainnya seperti dalam suap pemilihan Deputi Senior Gubernur BI yang melibatkan 25 anggota DPR, diharapkan akan menjadi entropi pembangkitan tradisi pengelolaan kepartaian yang sehat, akuntabel, meritokratis dan demokratis. Sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa jenis praktek suap tersebut sering dikaitkan dengan strategi politisi partai dan Dewan untuk menaikkan survivalitas finansial partai terutama menjelang pemilu. Ini problemnya, kenapa performa politik kekuasaan selama ini tidak pernah berorientasi penuh melayani rakyat.
Politik kekuasaan di parpol, legislatif maupun eksekutif hanya menjadikan status gain sebagai "agama"-nya dengan membuka jalan terhadap pelembagaan korupsi yang sistematik dan massif. Sehingga tidak salah jika korupsi di Indonesia bukan hanya telah menjadi kultur baru namun lebih darinya telah menjadi "negara dalam negara" (state in state). Korupsi menjadi beban bagi institusi politik-negara dalam mempertahankan legitimasinya dengan memilih cara-cara status quo dan represif (koruptif) sebagai instrumen memenuhi kepentingan privat.
Ini bukan saja merugikan finansial negara akibat penyimpangan kebijakan (policy distortion) tetapi juga mengancam struktur bangunan demokrasi karena dicemari perilaku "rentenir" para elit yang selanjutnya berpeluang menghadirkan "demokrasi kaum penjahat" (Olle Tornquist , 1999). Sebuah karakter demokrasi yang memberikan ruang bermain bagi penguasa memuluskan berbagai afiliasi kepentingan dan ketimpangan melalui jaringan patronase dengan partai, pengusaha dan berbagai kelompok kepentingan.
Kita berharap KPK secara berani dapat mengungkap kasus suap Sesmenpora tersebut secara tuntas untuk menjawab keraguan publik yang membuncah selama ini ketika KPK harus berhadapan dengan kasus suap dan korupsi yang ada di lingkaran kekuasaan.***


Penulis, Dosen FISIP Undana, Kupang; Mahasiswa Pascasarjana FISIPOL UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar