Senin, 30 Mei 2011

Korupsi dan Demokrasi

Sumber : KOMPAS, Rabu, 16 Mei 2011, Halaman 6
Perkembangan demokrasi di Tanah Air, yang mengalami kemajuan sangat mengagumkan sejak Pemilu 1999, dalam usianya yang relatif masih muda belia harus menanggung beban yang begitu berat.
Ekspektasi masyarakat yang tinggi terhadap demokrasi bahwa demokrasi dapat mengikis sedimen korupsi pemerintahan otoriter Soeharto pada masa lalu masih jauh dari harapan. Kini korupsi justru terus tumbuh di tengah kian rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap akuntabilitas dan kinerja lembaga demokrasi, terutama parpol serta parlemen (dan hukum).
Ancaman kemunduran demokrasi telah diperlihatkan oleh Freedom Barometer Asia 2010 yang dikeluarkan oleh Kantor Friedrich Naumann Stiftung Regional Asia Tenggara dan Timur untuk mengukur tingkat kebebasan di bidang politik, ekonomi, dan penegakan hukum. Lemahnya penegakan hukum dan penanganan korupsi serta intervensi pengaruh di luar proses demokrasi membuat Indonesia menempati peringkat ke-6 dengan total nilai 58,52, turun dibandingkan 2009 (63,47).
Mencuatnya kasus dugaan suap dalam pembangunan wisma atlet SEA Games 2011 di Palembang, yang menyeret Sekretaris Kemenpora serta bendahara umum dan salah seorang wakil sekjen Partai Demokrat, sesungguhnya hanya mengonfirmasi fenomena korupsi politik yang kian mapan. Dalam lima kali survei Global Corruption Barometer, sejak 2004 parpol bersamaan dengan lembaga peradilan selalu dalam urutan teratas lembaga-lembaga yang rentan terhadap korupsi.
Perdagangan pengaruh politik sangat kental dalam kasus pembangunan wisma atlet SEA Games 2011. Tugas KPK mendalami bekerjanya suap di sini mulai dari penetapan kontraktor pemenang hingga mungkin penyuapan untuk menggelembungkan nilai kontrak dengan dukungan pemegang otoritas anggaran atau dalam upaya menurunkan kualitas proyek.
Pembayaran suap itu mungkin saja untuk kepentingan pribadi atau juga kontribusi bagi dana politik yang tidak legal. Biasanya pengaruh politik tidak berhenti sampai di situ, tetapi akan bekerja dalam upaya pembelaan terhadap anggotanya yang terlibat dalam kasus korupsi yang dalam hal ini ibarat koloni lebah pekerja pengumpul polen dan madu bagi parpol.
Kasus ini juga meneguhkan asumsi masyarakat akan realitas distribusi sumber daya ekonomi di antara partai politik anggota kabinet multipartai yang belakangan semakin terkonsolidasi untuk kelangsungan kepentingan politik jangka panjang mereka. Untung saja ada KPK dan berkah kebebasan media sehingga kasus ini bisa terbongkar.
Barangkali kasus ini tak tunggal. Ibarat fenomena gunung es, bisa jadi akan disusul kasus-kasus serupa, sebagaimana lazimnya bahaya korupsi tak terkendali di suatu negara yang tengah mengalami transformasi kelembagaan pasca-pemerintahan otoriter yang masih lemah dan kepemimpinan politik yang lemah.
Kendati kasus ini sekarang dijadikan amunisi dalam persaingan politik, gelagatnya tidak akan lebih dari sekadar reklame politik. Atau mungkin mengarah pada persaingan untuk pendistribusian kekuasaan ekonomi ketimbang sebagai upaya antikorupsi yang serius. Sudah banyak bukti kasus megakorupsi yang dijadikan komoditas politik di DPR dan kasusnya lenyap begitu saja atau terbenam oleh kasus korupsi politik yang mencuat belakangan.
Bertransformasi bentuk
Mengapa korupsi bisa tetap hidup dan tumbuh dalam sistem demokrasi secara bersamaan? Secara teori, korupsi berkembang subur dalam sistem politik satu partai (Doig, 1984) walau tidak ada negara demokrasi yang bebas korupsi.
Setelah 13 tahun reformasi, sudah cukup untuk menilai bahwa reformasi birokrasi dan politik gagal menyingkirkan rezim korupsi, tetapi hanya mentransformasi bentuk korupsi seiring perubahan struktur kekuasaan pasca-Pemilu 1999. Tanpa tedeng aling-aling, Vedi Hadiz, ilmuwan politik di Universitas Murdoch, menyimpulkan, kelembagaan demokrasi produk reformasi telah dibajak elite predator.
Dengan kata lain, reformasi birokrasi yang bertumpu pada perbaikan tata kelola pemerintahan lewat mekanisme transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan penguatan rule of law tidak menyentuh elite- elite birokrasi yang kariernya tumbuh dan dibesarkan dalam sistem yang korup selama Orde Baru berkuasa. Mereka inilah yang riil menghambat bekerjanya meritokrasi untuk melahirkan birokrasi modern yang bersih.
Di sisi lain, reformasi politik lewat pembenahan prosedur dan kelembagaan demokrasi, seperti aturan kepartaian yang terbuka, sistem pemilu, dan pengaturan dana politik, belum melahirkan kekuatan- kekuatan politik baru yang bisa menandingi kekuatan politik lama yang korup. Bahkan, karena struktur kekuasaan ekonomi tak banyak berubah, juga karena alasan postur partai yang gemuk dan persoalan dana politik, yang terjadi justru kekuatan politik baru produk reformasi bersenyawa dengan elite predatori lama yang masih mengendalikan jaringan ekonomi, politik, hukum, dan birokrasi.
Sampai di sini kekuatan-kekuatan ekonomi lama, yang pada transisi politik sempat kehilangan patron politik, menemukan pengayom politik baru. Juga tak menutup mata ada pebisnis yang dibesarkan Orde Baru bertransformasi menjadi perusahaan publik yang mandiri.
Seiring makin terkonsolidasi elite predatori, belakangan kian terbuka upaya pelemahan lembaga-lembaga independen produk reformasi, seperti KPK, Pengadilan Khusus Tipikor, Komisi Yudisial, dan KPU, yang dalam tingkat tertentu sangat mengganggu proses konsolidasi elite perusak tersebut. Apabila pelemahan ini lebih cepat daripada yang dibayangkan, gerakan sosial antikorupsi yang belum berpengaruh akan mengalami kesulitan dalam mengakselerasi perubahan.
Agenda reformasi politik, ekonomi, dan birokrasi untuk menyingkirkan jaringan oligarki predatori harus tetap dilanjutkan. Apabila korupsi jadi bahan bakar utama untuk menggerakkan mesin demokrasi, dalam jangka panjang keadaan ini akan melanggengkan sistem yang korup. Indonesia bahkan bisa terpuruk dalam situasi yang lebih kleptokratik, yaitu para penguasa merampok dengan lahap kekayaan negaranya sendiri, bergelimang kemewahan di tengah rakyatnya yang miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar