Minggu, 13 Maret 2011

Perkembangan Ekonomi Internasional dan Pemantauan Ekonomi Internasional Risiko Carry Trade


     Perkembangan ekonomi Dunia dalam bulan Desember dilingkupi dengan berbagai sentimen baik positif maupun negatif. Berbeda dengan bulan November yang relatif lebih positif, beberapa informasi negatif membuat bulan Desember menjadi bulan koreksi pada beberapa Indikator.
Desember 2009
Overview
Perkembangan Ekonomi Internasional dan Risiko Carry Trade
Bhayu Purnomo & Parjiono
Kondisi Pasar AS
Tabel Indikator Ekonomi Dunia
New Regulation and/or economic cooperation
Special Issue
Menuju Implementasi Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM)
Dalyono
    Departemen Perdagangan AS melaporkan pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari perkiraan selama kuartal III. GDP tumbuh 2,2% dari Juli-September, lebih rendah dibandingkan dengan 2,8% sebelumnya. Baik indikator dari sisi produksi maupun konsumsi AS menunjukkan angka positif pada kuartal terakhir 2009. Dengan GDP mewakili 30% GDP dunia, dan peranan besar US$ dalam perekonomian dunia, perkembangan AS mempunyai efek yang cukup besar pada perekonomian dunia sehingga mulai pulihnya AS diharapkan akan menjadi penggerak recovery ekonomi dunia.
Disusun oleh Tim Pemantauan
Ekonomi Internasional
Pusat kebijakan kerja Sama Internasional
Badan Kebijakan Fiskal,
Departemen Keuangan RI
Koordinator: Parjiono
Indikator Sektor Industri AS
Sumber: Bloomberg
Informasi :
bhayu.purnomo@gmail.com
parjiono@hotmail.com
(Tlp) 021 – 380 8393
(Fax) 021 – 345 1205
    Pada bulan November Industrial Production AS dilaporkan naik 0.8% dibandingkan bulan sebelumnya sedangkan Capacity Utilization naik ke level 71.3 dari bulan sebelumnya 70.6. Positifnya dua indikator ini menunjukkan adanya peningkatan dalam proses produksi AS. Sektor industri AS telah merasakan dampak krisis global yang cukup besar. Lemahnya demand akibat krisis global telah membuat banyak industri AS mengalami kebangkrutan. Industrial Production AS sempat mengalami kontraksi terus menerus selama tahun 2008. Memasuki semester II
2009, industrial production mulai membaik dengan mulai banyaknya indikator pemulihan dunia. V-Shape profile dari Capacity Utilization AS menunjukkan bahwa kondisi perekonomian sudah mulai kembali normal. Dari sisi konsumsi, indikator belanja masyarakat AS juga telah menunjukkan perbaikan. Adanya aktifitas liburan dan natal telah meningkatkan penjualan retail AS sebesar 1.3% dibandingkan bulan sebelumnya. Mulai meningkatnya konsumsi masyarakat dapat dianggap sebagai indikasi positif pemulihan perekonomian setelah krisis. Angka Consumer Confidence dan Consumer Expectation AS juga menunjukkan kenaikan dibandingkan bulan Okober. Berikut rangkuman beberapa indikator sektor riil AS yang menunjukkan kenaikan.

Indikator Inflasi AS
     Mulai naiknya konsumsi ini mempunyai dampak terhadap indikasi naiknya inflasi pada pasar AS. Producer Price Index dan Consumer Price Index naik dan memberikan tekanan ke pada bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga. Suku bunga rendah merupakan salah satu kebijakan stimulus AS untuk membantu perekonomian melewati masa krisis. Oleh karena itu perubahan pada kebijakan moneter menjadi hal yang amat berisiko dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Kenaikan suku bunga dapat mempengaruhi perekonomian dunia secara global karena dapat menyebabkan tertariknya kembalinya modal ke AS.
     Kondisi ekonomi yang masih lemah membuat The Fed berhati hati dalam menentukan kebijakannya. Chairman The Fed Ben Bernanke menyatakan bahwa tekanan inflasi AS masih kurang untuk membuat The Fed menaikan suku bunga acuannya. Suku bunga bank sentral di seluruh dunia telah mengalami penurunan yang amat besar selama 2008 dan 2009. Penurunan suku bunga acuan ini dilakukan sebagai stimulus dalam perekonomian pada saat krisis untuk membantu pendanaan sektor riil.
Seiring membaiknya perekonomian, mata uang USD juga mulai kembali menunjukkan penguatan. Selama bulan desember nilai tukar rata-rata USD terhadap mata uang benchmark telah naik 4.21%, kenaikan yang cukup besar jika dibandingkan dengan 2 bulan sebelumnya dimana 3
USD mengalami depresiasi. Mata uang yang paling banyak digunakan di dunia ini telah kembali ke posisi bulan Agustus. Berbagai optimisme dari sektor keuangan menjadi pendorong naiknya nilai tukar USD antara lain membaiknya sektor perbankan AS. Beberapa Bank AS menyatakan siap mengembalikan dana bailout (BOfA $45 Milyar, Wells Fargo $25Milyar dan Citibank $20Milyar). Secara umum dapat disampaikan bahwa ekonomi AS mulai menunjukkan indikasi positif, namun dengan beberapa risiko yang melingkupi, terutama masih tingginya pengangguran dan besarnya defisit. Perkembangan Harga Komoditas Dunia Pergerakan komoditas dunia pada bulan desember menunjukkan adanya pelemahan seiring menguatnya mata uang USD. Kenaikan harga-harga komodity pada bulan November lebih didorong pada pelemahan USD yang membuat harga komoditas relatif lebih murah. Menguatnya nilai tukar USD pada bulan Desember menghentikan kenaikan ini.
Minyak mentah (WTI), Emas dan Gandum selama bulan Desember cenderung melemah. Begitu juga untuk beberapa komoditas utama dunia lainnya yang naik namun tidak setinggi bulan November. Berita yang cukup penting dari sektor komoditas adalah Mexico mengumumkan akan kembali Melakukan Hedge minyak mentah untuk tahun 2010. Untuk ini Mexico memperkirakan minyak mentah ada pada harga $57 per Barel. Perkiraan untuk tahun 2010, harga komoditas masih diperkirakan akan meningkat seiring mulai membaiknya permintaan dunia. Gandum Penutupan Bulan Kenaikan Bulanan
Perkembangan Pasar Saham Dunia
   Selama bulan Desember, perkembangan index saham tidak sepesat bulan November. Perkembangan Index saham selama bulan desember (per 21 desember) hanya mencapai 0.59%, pada periode sebelumnya mencapai 3.87%. Perubahan terbesar terjadi pada pasar saham Emerging Market yang mengalami kontraksi pada bulan desember ini. Perkembangan recovery dunia dan naiknya harga komoditas dunia telah membantu kenaikan yang cukup besar harga saham pada emerging market di bulan November dan hal ini tidak banyak terjadi di bulan Desember. Besarnya tekanan jual karena sudah tingginya kenaikan index sejak awal tahun dan beberapa sentimen negatif pasar membuat index saham menurun pada bulan desember ini. World Index Emerging Market Index
Penundaan pembayaran surat utang Dubai sempat memberikan pengaruh pada pergerakan saham dunia. Saham benchmark dunia sempat mengalami tekanan pada saat informasi kondisi Dubai. Namun sentimen negatif tersebut tidak bertahan lama seiring penjelasan dari Dubai World mengenai kondisi keuangannya. Sentimen negatif lainnya terhadap perkembangan perekonomian datang dari Yunani. Lembaga pemeringkat Moody’s menurunkan rating utang Yunani satu tingkat menjadi A2 dari sebelumnya A1 sementara Lembaga pemeringkat Fitch Ratings pada 8 Desember lalu sudah memangkas rating Yunani satu peringkat menjadi BBB+. Hal ini menimbulkan ketidakyakinan para investor terhadap kondisi banyak negara maju di dunia. Peringkat ini menyebabkan harga obligasi negaraYunani menjadi anjlok. Perusahaan pemeringkat prihatin dengan upaya pemerintah Yunani untuk berjuang menghadapi gelembung defisit yang tertinggi diantara negara-negara Eropa, yakni mencapai 12,7% sehingga hampir masuk kelompok negara yang punya utang besar atau dikenal dengan sebutan most indebted country. Angka ini sebenarnya relative kecil dibandingkan deficit banyak Negara maju dunia. Jepang yang telah mengumumkan stimulus tahap ke dua sebesar $80 Milyar mempunyai rasio utang terhadap PDB lebih dari 200%. Beberapa info negative lainnya seperti permasalahan perbankan di Amerika selatan dimana Pemerintah Venezwela menutup 7 Bank dengan alasan mismanagement menjadi salah satu pemicu penurunan index saham. Risiko Perkembangan Pasar Saham Dunia Pasar saham dunia telah naik cukup tinggi selama tahun 2009, berbagai indikator ekonomi positif telah membuat investor yakin akan perkembangan recovery ekonomi. Mulai kembali berinvestasinya investor di pasar saham membuat index saham dunia naik secara signifikan. Perkembangan harga saham yang cukup besar selama 2009 pada Emerging Market (EM) menunjukkan mulai kembalinya modal ke pasar EM. Sebagaimana yang terlihat dalam gambar dibawah, peningkatan index saham EM di kawasan Asia jauh lebih besar dibandingkan rata-rata peningkatan dunia. Sebagai contoh, per 16 November 2009, index Saham Indonesia telah naik hingga 82.14% selama tahun 2009, diikuti oleh China dan India yang naik 78.87% dan 76.55%. Peningkatan yang dicatat oleh ketiga negara tersebut jauh lebih tinggi daripada rata-rata dunia yang hanya naik sebesar 27.73%. Membaiknya index di satu sisi menjadi sentimen positif bagi investor. Namun disisi lain, kondisi tersebut telah menimbulkan sebuah kekhawatiran baru akan terjadinya bubble burst pada perekonomian dunia ke depan. Kekhawatiran ini sangat berdasar, karena telah disinyalir bahwa masuknya dana khususnya ke EM secara cepat akhir-akhir ini terkait dengan aktifitas carry trade.
Index Saham Rata-Rata Dunia dan EM 5
    Carry trade adalah aktivitas dimana investor meminjam dana pada suatu mata uang tertentu yang mempunyai suku bunga rendah, untuk kemudian menanamkan dana tersebut pada instrumen lain di negara lain, dengan mata uang yang berbeda, yang menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Rendahnya suku bunga acuan Fedres membuat investor banyak yang melakukan aksi pinjam terhadap USD, dengan bunga yang mendekati 0%. Investor tersebut kemudian mencari alternatif investasi yang dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar, dalam hal ini adalah negara-negara di EM. Kebijakan The Fed menerapkan suku bunga rendah (0%-0,25%) awalnya dimaksudkan untuk mendukung kegiatan di sektor riil di AS, namun pada gilirannya justru memberikan implikasi negatif pada nilai tukar USD. Carry Trade telah menyebabkan aliran dana yang cukup besar dari negara maju, khususnya AS, ke EM dan menyebabkan rally pada aset di negara-negara tersebut. Salah satu aset yang paling banyak diincar adalah saham. Hal ini telah membuat nilai tukar USD melemah karena investor cenderung melepas dollar untuk berinvestasi di EM. Selain pada index saham, implikasi carry trade ini juga terlihat dari pergerakan harga komoditas. Harga komoditas telah menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat selama beberapa bulan terakhir. Selain karena disebabkan oleh indikasi membaiknya perekonomian dunia, kenaikan harga komoditas ini juga disebabkan oleh pelemahan nilai tukar USD yang semakin dalam terhadap mata uang lain. Beberapa faktor seperti komoditas dunia yang diperdagangkan dalam USD, membuat pelemahan nilai tukar USD berakibat pada rendahnya harga komoditas bagi investor diluar AS.
Jika dikonversikan harga komoditas tersebut terhadap kepada mata uang selain USD, maka terlihat bahwa harga komoditas akan relatif menjadi lebih rendah. Sebagai contoh adalah harga emas yang selama beberapa bulan terakhir ini berada dalam tren meningkat. Jika dibuat index harga emas terhadap beberapa mata uang benchmark, terlihat bahwa harga emas menjadi relatif lebih rendah pada mata uang selain USD. Hal ini menjadi penyebab dari meningkatnya permintaan terhadap emas, sehingga harganya pun menjadi tidak terkendali. Hal senada juga terjadi pada komoditas dunia lainnya.
Naiknya index saham EM berpotensi membawa risiko negatif terhadap perekonomian dunia. Kenaikan harga aset (saham dan komoditas) di EM saat ini diperkirakan tidak didukung oleh fundamental ekonomi yang kuat, namun lebih karena aksi spekulasi investor. Hal ini menjadi berisiko karena capital flight dapat terjadi sewaktu waktu sehingga membuat gelembung aset tersebut pecah, dan menyebabkan krisis kembali terjadi di EM. Salah seorang ekonom dunia, 6
     Nouriel Roubini, menyatakan kekhawatirannya atas semakin tingginya harga asset pada EM. Kondisi bubble burst diperkirakan akan benar-benar terjadi, apabila perkembangan pasar saham EM yang didorong oleh Carry trade USD semakin meningkat.
Dampak negatif dari aktivitas carry trade tersebut adalah kembalinya aliran modal ke negara maju (capital flight) yang terjadi antara lain melalui penjualan kepemilikan saham oleh investor asing. Apabila tidak ditangani secara serius, hal ini dapat mengakibatkan goncangan ekonomi pada suatu Negara. Diawali oleh pelemahan index saham, Capital Flight ini kemudian dapat mengancam stabilitas nilai tukar dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sektor riil.
     Hal ini menjadi penting bagi Indonesia, karena Indonesia memiliki “bubble” index saham terbesar dibandingkan negara EM lainnya. Jika capital flight ini terjadi di Indonesia, dampaknya bagi perekonomian domestik cukup buruk. Pada bulan Oktober, indikasi pelepasan modal dari investor asing sempat terlihat pada pasar modal Indonesia. Posisi nett buying pada saham Indonesia yang selalu positif selama 7 bulan terakhir, di bulan Oktober sudah berada pada posisi negatif, sebelum akhirnya terjadi rebound di akhir bulan November dan Desember. Hal ini menunjukkan bahwa selama bulan Oktober sampai pada pertengahan November, lebih banyak investor asing yang menjual sahamnya di Indonesia, sehingga menyebabkan IHSG turun cukup jauh. Kondisi tersebut perlu menjadi perhatian, karena selain mempengaruhi index saham, keluarnya investasi asing dari pasar Indonesia, apabila tidak terkelola dengan baik akan mengancam stabilitas nilai tukar rupiah dan kemudian dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Kebijakan Yang perlu diambil
GDP Indonesia
Sumber : BPS
Melihat potensi dampak yang diakibatkan oleh carry trade, perhatian serius perlu diberikan, agar dampak buruk dari bubble burst dapat dihindari. Capital Outflow harus dapat dihindari, karena mempengaruhi kestabilan perekonomian. Hal ini karena perpindahan dana secara cepat umumnya terjadi pada dana asing yang berada pada instrument investasi yang tergolong likuid, seperti pasar saham. Salah satu cara untuk meredam keluarnya investasi asing pada jenis investasi ini adalah dengan mengupayakan perpindahan dana dari yang bersifat hot money (pasar saham-jangka pendek) kepada investasi yang memiliki jangka waktu lebih panjang, misalnya investasi langsung (Foreign Direct Investment). Jika pemerintah dapat mendorong perpindahan investasi asing dari saham ke investasi yang sifatnya lebih riil, maka risiko Bubble Burst dapat dihindari. 7
     Pada saat ini ada wacana yang ditujukan kepada Bank Indonesia untuk mengontrol aliran modal jangka pendek, melalui peraturan Bank Indonesia. Peraturan ini ditujukan untuk menahan modal jangka pendek yang sudah masuk untuk beberapa saat tertentu tidak bisa ditarik keluar Indonesia. Namun demikian, wacana inipun harus diperhitungkan secara mendalam, karena sangat mungkin hal ini malah akan menjadi salah satu pertimbangan investor mengenai ketidak feksibelan Indonesia. Dalam rangka mendorong minat investor untuk mengalihkan investasi asing jangka pendek menjadi jangka panjang, salah satu hal yang bisa dilakukan antara lain adalah dengan menunjukkan prestasi ekonomi yang mempunyai growth story di saat krisis.
    Ekonomi Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang cukup positif, baik sebelum maupun pada saat krisis dunia berlangsung. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih banyak ditopang oleh konsumsi domestik, membuat Indonesia lebih tidak vurnerable pada pergerakan ekonomi dunia. Beberapa catatan yang mendukung pernyataan tersebut, yaitu pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap positif walaupun dunia mengalami krisis sejak akhir 2007. Selain itu, pada kuartal ke-3 tahun 2009, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 4.2%, dimana konsumsi rumah tangga tumbuh hingga 4.75%. Catatan lainnya, yaitu bahwa investasi dan ekspor impor, walau sempat terimbas oleh krisis dunia, saat ini telah menunjukkan adanya recovery dari kuartal sebelumnya. Sementara, sektor pertambangan merupakan sektor yang mengalami kenaikan yang cukup pesat. Salah satunya dikarenakan karena rally harga komoditas pertambangan yang cukup besar dalam beberapa periode terakhir.
Sektor riil Indonesia juga menunjukkan potensi pertumbuhan yang cukup besar. Masuknya modal asing yang menyebabkan naiknya index saham Indonesia, diperkirakan tidak hanya disebabkan oleh aktivitas carry trade, namun juga oleh kondisi perusahaan di Indonesia yang menunjukkan perkembangan yang cenderung bergerak positif. Hal ini didukung oleh data dari beberapa perusahaan besar di Indonesia yang telah menunjukkan kondisi keuangan yang positif selama kuartal 3-2009 dan terbukti mampu melewati krisis.
     Beberapa catatan positif tersebut menumbuhkan minat asing untuk berinvestasi di Indonesia, sebagaimana yang dapat dilihat pada grafik Nett Buying Saham Oleh Asing di atas, yang menunjukkan angka yang positif sejak bulan Maret sampai September.
Berdasarkan informasi yang didapat (http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/keuangan/ 1id144406.html), tujuh emiten besar pada pasar saham Indonesia mencatat adanya lonjakan laba bersih rata-rata 124,25% per 30 September 2009, ini setelah pendapatan tumbuh rata-rata sebesar 11,53%. Tujuh emiten itu adalah PT Astra International Tbk, PT United Tractors Tbk, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), PT Excelcomindo Pratama Tbk, PT Gudang Garam Tbk, PT Unilever Indonesia Tbk, dan PT Bakrieland Development Tbk. Laba yang dicatat oleh banyak perusahaan di Indonesia tersebut telah mendorong masuknya investasi asing ke Indonesia.
Berdasarkan diskusi di atas, upaya untuk mendorong pengalihan investasi asing jangka pendek yang cukup tinggi, menjadi investasi asing jangka panjang, seperti FDI menjadi sangat crucial bagi perekonomian Indoensia. Beberapa kebijakan telah dikeluarkan untuk mendorong upaya ini, antara lain: pembangunan infrasruktur, pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan pengembangan Indonesian Economic Development Corridor (IECD), Upaya-upaya selanjutnya ditekankan agar kebijakan-kebijakan tersebut dapat menghasilkan output untuk mencapai tujuan ekonomi. Pembangunan infrastruktur harus mempu menyediakan infrastruktur (fisik dan non fisik) yang handal, dengan skema pendanaan yang tepat. Pengembangan KEK harus dapat berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Sementara itu IECD ditujukan untuk dapat menghubungkan pusat-pusat industry antar daerah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, mendorong FDI dan akhirnya pertumbuhan ekonomi. 8
Special Issue
Menuju Implementasi Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM)
  
     Bertolak dari pengalaman dalam mengatasi dampak krisis ekonomi tahun 1997-1998, para Menteri Keuangan ASEAN+3 (ASEAN plus Jepang, China dan Korea Selatan) berinisiatif untuk meningkatkan kemandirian wilayah Asia Timur (regional self-help) dengan membentuk Chiang Mai Intiative (CMI) pada tanggal 6 Mei 2000. CMI berisi persetujuan untuk membentuk suatu mekanisme pengaturan keuangan regional (Regional Financing Arrangement/RFA) sebagai suplemen terhadap fasilitas financial arrangement yang disediakan lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan penciptaan kerja sama Bilateral Swap Arrangements (BSA) di antara negara-negara ASEAN+3.
Pada perkembangannya, inisiatif tersebut diamandemen dengan mengadopsi prosedur pengambilan keputusan secara bersama pada proses aktivasi swap dan mengembangkan BSA yang sifatnya bilateral menjadi multilateral (CMI Multilateralization/CMIM). Tujuan pembentukan CMIM mengadopsi tujuan dalam BSA yaitu memberikan bantuan likuiditas jangka pendek bagi negara anggota yang terkena krisis dan sebagai pelengkap fasilitas bantuan keuangan internasional yang sudah ada.
Total pooling fund dalam CMIM adalah US$120 milyar yang mana 80% di antaranya merupakan kontribusi negara-negara Plus Three dan sisanya (20%) merupakan kontribusi negara-negara anggota ASEAN. Dari pembagian tersebut, masing-masing pihak (ASEAN dan Plus Three) membagi sendiri kontribusi dari masing-maisng negara berdasarkan kesepakatan tertentu. Dalam hal ini, negara anggota dapat mencairkan sejumlah tertentu dari dana tersebut berdasarkan borrowing multiple yang telah disepakati (kontribusi dan borrowing multiple masing-masing negara anggota pada Tabel 1). Dari jumlah maksimal dana yang dapat dicairkan oleh negara anggota tersebut, 20% di antaranya dapat dicairkan tanpa program IMF (IMF de-linked portion) di negara tersebut, sedangkan 80% sisanya hanya dapat dicairkan apabila terdapat program IMF (IMF linked portion).
Maturity dari masa swap adalah 90 hari dan dapat diperpanjang. Untuk IMF de-linked portion hanya dapat diperpanjang sebanyak tiga kali, sedangkan untuk IMF linked portion dapat diperpanjang sampai dengan tujuh kali. Suku bunga yang diterapkan adalah LIBOR plus 150 basis points dengan kenaikan untuk setiap dua kali perpanjangan sebesar 50 basis points dan tidak akan melebihi jumlah maksimal 300 basis points. Bagi negara yang mengembalikan lebih awal, bunganya akan dihitung berdasarkan waktu pengembalian.
Krisis global yang melanda dunia sejak tahun 2008 telah mendorong para Menteri Keuangan ASEAN+3 untuk dapat segera mengimplementasikan CMIM sebagai upaya mitigasi krisis. Pada tanggal 21-24 Desember 2009, 13 Menteri Keuangan dan 13 Gubernur Bank Sentral ASEAN+3 serta Gubernur Hong Kong Monetary Authority (HKMA) telah melakukan penandatanganan CMIM Agreement melalui exchange of signature. CMIM akan berlaku efektif 90 hari setelah ditandatanganinya perjanjian tersebut. 9
Keberadaan CMIM sebagai regional self-help mechanism menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN+3 mempunyai tekad yang kuat untuk berupaya menolong dirinya sendiri dalam mengantisipasi terjadinya krisis sebelum mencari bantuan kepada pihak lain. Keberadaan fasilitas pembiayaan ini juga telah mendorong kepedulian dan semangat negara-negara anggota untuk bekerja sama dalam menganggulangi potensi terjadinya krisis. Tiap-tiap negara telah menyadari bahwa krisis yang terjadi di salah satu negara anggota berpotensi untuk menular kepada negara yang lain. Sebelum hal tersebut terjadi, perlu dilakukan upaya bersama untuk membantu memulihkannya.
Bagi Indonesia, CMIM merupakan precautionary measure (fasilitas untuk berjaga-jaga) yang dapat di-drawdown (ditarik) apabila diperlukan. Keputusan untuk menarik fasilitas tersebut akan dilakukan setelah sebelumnya berupaya untuk memperoleh sumber pembiayaan dari pasar serta melalui evaluasi dan assesment mengenai kondisi ekonomi dan keuangan yang dialami.
Di Indonesia, saat ini telah terdapat beberapa fasilitas berjaga-jaga lain yang hampir serupa dengan CMIM yaitu fasilitas ASA, BSA, Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) , dan Deferred Drawdown Option (DDO) . Keberadaan CMIM akan semakin meningkatkan kepercayaan Indonesia dalam memperkuat pondasi dan struktur ekonomi dan keuangan serta meneruskan reformasi ekonomi yang terus berjalan. Pada sisi lain, keberadaan CMIM juga akan memperkuat kepercayaan pasar dan investor terhadap kondisi perekonomian Indonesia yang pada gilirannya akan mendorong arus modal masuk dan investasi ke Indonesia. Di samping itu, sesuai dengan tujuannya, CMIM akan dapat menambah cushion cadangan devisa apabila negara mengalami kesulitan cadangan devisa.
Setelah CMIM dapat diimplementasikan secara penuh, beberapa hal layak dipertimbangkan, antara lain:
Penyederhanaan proses aktivasi. CMIM melibatkan 13 negara yang berpotensi untuk menimbulkan kompleksitas pada proses pengambilan keputusan dan peluang terjadinya kelambatan aktivasi. Untuk itu, perlu dilakukan review dan assesment mengenai proses aktivasi. Jika masih berpeluang untuk disederhanakan tanpa mengurangi prinsip kehati-hatian, maka hal tersebut dapat dilakukan.
Percepatan disbursement. Potensi kelambatan pada proses persetujuan aktivasi akan mempengaruhi kecepatan waktu disbursement-nya. Lambatnya disbursement, setidaknya akan mempunyai dua dampak yang berbeda yaitu negara yang mengalami kesulitan likuiditas sudah terlanjur parah kondisi perekonomiannya atau negara tersebut sudah ‘sembuh’ karena memperoleh bantuan dari pihak lain, baik bersumber dari pasar maupun dari donor bilateral atau multilateral. Apabila hal ini terjadi, keberadaan CMIM menjadi tidak efektif dan kurang bermanfaat.
Pelonggaran persyaratan. Prasyarat dan syarat dalam CMIM cenderung soft dan tidak terlalu kompleks. Namun demikian, setelah CMIM dioperasikan secara penuh, perlu dilakukan review dan assesment mengenai prasyarat dan syarat tersebut, apakah masih relevan atau tidak. Sebagai pembanding, lembaga donor multilateral sebesar IMF, telah 10
menyediakan suatu fasilitas pembiayaan yang hampir tidak mensyaratkan apapun yaitu the new Flexible Credit Line (FCL). Jika IMF dapat menerapkan hal tersebut, ASEAN+3 kiranya dapat pula menerapkannya pada CMIM.
Kenaikan IMF De-linked Portion menjadi di atas 20%
Jumlah maksimal dana yang dapat dicairkan oleh suatu negara anggota tanpa program IMF (IMF de-linked portion) sebesar 20% sedangkan 80% sisanya hanya dapat dicairkan apabila terdapat program IMF (IMF linked portion) di negara tersebut. Bertolak dari tujuan awal bahwa CMIM merupakan self help regional mechanism, sudah selayaknya jika terjadi kesulitan likuiditas di kawasan maka harus diupayakan untuk dapat dipenuhi oleh CMIM tersebut. Dengan demikian, porsi 20% dinilai kecil dan tidak signifikan apabila dialokasikan sebagai sumber bantuan likuiditas jangka pendek. Untuk itu, IMF de-linked portion sudah selayaknya dinaikkan menjadi di atas 20%. Kenaikan ini memang harus dibarengi dengan mekanisme surveillance yang robust dan capable.